Fikri Faqih Soroti Ketiadaan Rencana Induk dalam Pembahasan RUU Sisdiknas

Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto: Tari/vel
PARLEMENTARIA, Jakarta – Proses revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 tengah berlangsung, namun kritik tajam kembali mencuat. Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menilai bahwa pembaruan regulasi pendidikan ini justru terjebak dalam urusan teknis tanpa disertai arah jangka panjang yang jelas.
"Yang menjadi catatan kami adalah kita belum punya blueprint, belum punya grand design atau rencana induk pendidikan nasional," tegas Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Ia menilai bahwa ketiadaan arah tersebut menjadi ironi besar, mengingat pendidikan seharusnya menjadi fondasi utama pembangunan bangsa. Fikri membandingkan Indonesia dengan negara-negara tetangga yang justru lebih terarah dan progresif. Ia mencontohkan bahwa beberapa dari mereka bahkan masih menggunakan kurikulum Indonesia tahun 1974 sebagai rujukan.
"Negara-negara tetangga yang dulu belajar ke Indonesia kini melesat karena punya arah jelas. Kita justru seperti jalan di tempat," lanjut legislator PKS dari daerah pemilihan Jawa Tengah IX (Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Brebes).
Menurut Fikri, revisi UU Sisdiknas memang mendesak setelah lebih dari dua dekade diberlakukan. Isu-isu krusial seperti pengembangan kompetensi guru, pembaruan kurikulum yang selaras dengan dunia kerja, serta sistem penerimaan mahasiswa baru kini menjadi fokus. Namun, ia menegaskan, semua langkah tersebut tidak akan efektif tanpa dilandasi dengan visi besar dan terstruktur.
Ia bahkan membandingkan sektor pendidikan dengan sektor lain seperti pariwisata dan ekonomi kreatif yang telah memiliki rencana induk. “Pendidikan justru belum punya arah yang disepakati bersama secara nasional. Akibatnya, setiap ganti menteri, ganti pula kebijakan,” ujarnya.
Fikri juga menyoroti dampak dari tidak adanya arah pendidikan, seperti stigma terhadap lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang kerap dituding menjadi penyumbang pengangguran. “Itu bukan salah SMK-nya. Masalahnya, dari awal arah pendidikan tidak ditentukan. Vokasi, akademik, dan profesi harus punya porsi yang seimbang,” papar mantan kepala sekolah di salah satu SMK di Kota Tegal ini.
Untuk itu, ia mendesak agar momentum revisi UU Sisdiknas digunakan sebaik mungkin dengan memasukkan klausul wajib mengenai penyusunan Rencana Induk Pendidikan Nasional. Rencana ini, menurutnya, harus visioner dan selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) menuju Indonesia Emas 2045.
“Menteri sebelumnya (Nadiem Makarim) memang sempat membuat peta jalan 15 tahun, tapi itu belum selaras dengan RPJP yang cakupannya 20 sampai 25 tahun. Padahal, peta jalan itulah yang seharusnya menjadi kompas pembangunan pendidikan nasional,” tutup Fikri.
Sebagai informasi, Komisi X DPR RI menargetkan revisi UU Sisdiknas rampung pada tahun 2025. Revisi ini diharapkan menjadi titik balik dalam mewujudkan sistem pendidikan nasional yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan untuk menjawab tantangan zaman serta mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. (ssb/rdn)